← Back to portfolio

BATAS

Published on

'Ada batas yang harus terbalas'


Aku pernah begitu membencimu, hingga membunuhmu adalah hal yang aku inginkan. Kematianmu adalah sesuatu yang akan ku rayakan dengan suka cita. Kau pikir aku mengerikan? Ingatlah, apa yang telah kau lakukan padaku. Seberapa banyak luka yang telah kau buat, hingga aku hanya berharap kematianmu.

Tidakkah kau sadari apa yang telah kau lakukan padaku?

Kau telah mengubahku menjadi monster. Kau membenciku cukup banyak, ketika aku masih berpikir, akan ada saatnya kau menyayangiku. Belasan tahun aku bertahan mengemis pengakuan dan juga kasih sayangmu. Belasan tahun aku berkorban dan bertahan menghadapi hidup yang jauh dari rasa bahagia. Ku biarkan kau mengatur hidupku. Ku lakukan semua perintahmu meski kau bukan raja apalagi tuhan.

Bertahun – tahun aku menjalani peran sebagai si bodoh penimang luka. Me’nina-bobo’kan luka yang kau torehkan. Lambat – laun semua luka pun menggeliat, menuntut balas. Luka – luka yang secara perlahan bertransformasi menjadi sebentuk keberanian untuk menghentikan segala luka yang terpendam. Keberanian untuk mendendam tanpa pengampunan.

Hujan turun dengan deras, saat kau lemparkan aku kejalanan. Memangnya kau pikir luka itu akan hilang terbasuh hujan? Ketika puluhan pasang mata menyaksikan penderitaanku, haruskah luka itu bersih oleh hantaman hujan di tubuhku?

Aku mengepalkan tangan. Mencoba menahan diri untuk melawan. Kau menendangku tepat di pipi, hingga harus kucecap rasa darah disudut bibir dengan pipi yang panas berdenyut – denyut. Tanpa perintah, air mata pun mengalir.

Hidup tak harusnya begitu, sayang…

Aku berusaha bangkit namun tubuhku terlalu letih untuk bekerjasama. Tetesan hujan seolah telah melemahkannya, hingga ambruk di atas aspal basah. Mataku masih berkaca – kaca menatapmu, berharap masih ada belas kasihmu. Sayang, harapan selalu hanya sebuah harapan. Kau banting pintu rumah, memilih tak mempedulikanku. Memberi kesempatan manusia – manusia yang jatuh iba dan berhati nurani untuk turun tangan.

Untuk inikah aku dilahirkan?

* * *

Aku terbangun dalam ruangan yang didominasi warna putih. Seorang ibu paruh baya tertidur dalam posisi duduk disamping ranjang. Entah sudah berapa lama aku tertidur dengan infus serta perban – perban yang membalut anggota tubuh. Pipiku masih terasa sakit dan sudut bibir yang perih.

Baru saja aku berniat membangunkan wanita paruh baya yang tidur lelap, seseorang telah lebih dulu membuka pintu dengan kasar. Masih kuingat jelas kedua mata yang menunjukkan amarah. Tubuhku belum pulih benar, namun orang itu menarik selang infus dari pergelangan tanganku dengan kasar. Membuatku kesakitan yang tidak berakhir di situ. Dia menjumput leher seragam pasien yang kukenakan, hingga menyentuh dagu. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Bocah keparat!” Katanya dengan rahang yang mengeras.

Aku terlalu pengecut dan juga lemah untuk membalas. Wanita paruh baya terjaga. Kubiarkan orang itu memakiku semaunya. Aku telah terlatih menimang luka dan memupuk benci. Dengan satu hempasan, dia berhasil menjatuhkanku dari ranjang rumah sakit. Membuatku tersungkur di atas keramik putih yang dingin.

Hei, kenapa tidak kau bunuh saja aku?

Ku rasakan dengan jelas detik – detik perubahan ketika kedua mataku memanas dan tergenang. Rasa sesak didada telah mendorong air mata untuk mengalir. Andai setiap luka dapat selesai hanya dengan tangisan. Andai setiap air mata menghilangkan rasa perih tak terperi. Kubebaskan mereka dengan suka cita, agar aku tak perlu lagi mendendam.

Kilatan luka berkelebat dalam ingatanku. Luka yang begitu menyakitkan akibat harapan tak pernah terwujud nyata. Seiring dengan ingatan pedih yang bermunculan, tanganku terkepal. Dendam terlanjur menjalari jiwa dan memberi kekuatan untuk membela diri. Tidak ada seorangpun yang pantas melukaimu. Tidak ada seorangpun yang berhak menghadang kebahagiaanmu.

Tiba – tiba kau menarik rambutku. Memaksaku berdiri dalam kesakitan lagi. Wanita paruh baya itu menjerit ketakutan. Tak cukupkan perban – perban yang membalut tubuh ini menahanmu berbuat keji?

CUKUP!

Aku muak dengan tingkah kasarmu. Ku tepis tangan tuamu dengan luka yang mengamuk. Tak ada lagi yang harus ku toleransi dari segala tindak kasarmu.

Masih yakinkah kau menyandang gelar manusia?

“BERANI KAMU !?!” Katamu dengan tangan kanan yang terangkat.

Wanita paruh baya itu menjerit meminta bantuan dan memohon untuk berhenti secara bergantian. Telah kucecap rasa darah disudut bibirku lebih dari sekali. Apalagi yang harus kutakutkan dari layangan tangan kananmu ? Pipi yang panas berdenyut – denyut dan bengkak pun sudah sering ku rasakan. Masih haruskah aku takut dengan tangan yang mudah melayang itu?

“ Sejak usiaku 8 tahun, aku telah akrab dengan tangan itu” Kataku, terkekeh menahan nyeri disekujur tubuhku.

Orang – orang telah berkumpul, mencoba menenangkan. Ibu paruh baya dan seorang suster membantuku berdiri dengan benar. Beberapa orang memelukmu dengan hangat dan mendorongmu menjauh. Kau terus mengumpat dan aku tetap tertawa.

Hei, ada apa dengan kita?

* * *

Orang bilang, ada suka ada duka. Namun yang aku rasakan, ada duka, ada lara dan tak perlu lagi tanyakan luka. Ingatan selalu membawaku berjalan – jalan mengetuk pintu kesedihan. Aku takut, namun tak lari. Orang bilang, rasa takut harus dihadapi, karena tak bisa terus – terusan dihindari. Ku hadapi semua ingatan keparat itu dengan tangisan yang tiba – tiba saja turut hadir. Aku benci jika aku harus menangis seperti itu. Terlalu terlihat tak punya tempat berbagi. Ya, aku sendirian.

Waktu tak pernah berjalan terlalu cepat ataupun terlambat. Waktu selalu tepat dan kitalah yang seringnya terlambat. Keterlambatan yang membuatmu cukup untuk menyesali kesabaran yang lebih cocok disebut kebodohan. Ya, aku telah tumbuh menjadi gadis bodoh yang hidupnya dipermainkan oleh orang yang di berkahi usia tua. Memanfaatkan ketakutan dan ketidakberdayaan anak dengan ancaman mendepaknya dari rumah.

 Tak ada hari yang kulewati tanpa skenario pembunuhan. Aku memikirkan banyak cara dan memilah mana yang menyakitkan. Kematian secara perlahan – lahan tentu pilihan terbaik. Memberikan tusukan berkali – kali, hingga darah mengalir dimana – mana. Aku merasa puas untuk sejenak, sebelum akhirnya aku bertanya; ‘Apakah luka – luka itu sebanding?’

Ke esokkan harinya, aku memikirkan kembali cara untuk merayakan kematian. Memotong – motong tubuhnya dan menyebarkannya di jalanan. Aku tertawa puas, ketika membayangkan kau memohon untuk diberikan kehidupan. Lalu, pertanyaan itu berbisik kembali ; ‘Apakah tubuh yang terpotong – potong itu sebanding dengan luka belasan atau sudah memasuki puluhan tahun yang kau rasakan itu?’

Aku pun memikirkan kembali cara lain. Melemparkan tubuhnya ke dalam kandang buaya, sepertinya ide bagus. Melihat tubuhnya dicabik – cabik rahang yang memiliki kekuatan luar biasa. Dari yang pernah ku baca, tekanan gigitan buaya setara dengan gigitan anjing Rottweiler dan Hyena. Sungguh akan menjadi perayaan kematian yang meriah. Lantas, bisikan itu datang lagi. Menghancurkan kemeriahan perayaan kematian. ‘Kematian yang akan banyak diliput dan menjaring banyak simpati. Kematian yang tidak buruk’ begitulah bisikkannya.

Bisikan – bisikan keparat yang mengurungkan niatku membunuh dan hanya memikirkan cara terbaik untuk merayakan kematianmu secara berulang. Tidakkah aku telah hidup dengan begitu mengerikan sekaligus menyedihkan?

* * *

Mentari bersinar dengan hangatnya, kau datang dengan sebatang rokok yang diapit bibirmu. Tak ada yang kau katakan, namun ingatan terlanjur membawaku pada peristiwa dua hari lalu. Ketika kau datang dan mengatakan akan menjualku pada orang tua hidung belang berkelebihan harta. Aku mengatakan tidak, lalu kau menendang perutku dan mematikan rokok di punggung telapak tanganku.

Rasa sakit yang belum hilang dan luka lama bermunculan. Menumbuhkan keberanian, mengalahkan ketakutan. Degup jantung tak lagi berirama, nafas pun mulai tak beraturan. Tanganku meraba dinding yang menggantung sebilah pedang oleh – oleh dari Kalimantan. Tekadku terlalu kuat untuk dikalahkan.

Sayang, inilah saatnya mengakhiri semuanya…

Tanpa banyak kata. Tanpa ada yang harus dipertimbangkan. Ku hunuskan pedang sepanjang 60 cm itu, tanpa peduli dimana ia akan berlabuh. Bau amis mulai mengalir dari daging yang terobek. Kau merintih perih, aku menambah tekanan, agar pedang itu menembus tubuh, hingga kau terus kesakitan. Bunda menjerit melihat cipratan darah di tubuhku, sementara aku merasa puas!

Telah kubalaskan segala kekecewaanku atas perlakuannya. Kau memandangku dengan tatapan kesakitan. Bunda berteriak minta tolong. Aku tertawa, begini ternyata rasanya membalaskan dendam.

Manis…

* * *

Tak ada penyesalan yang tersisa dari apa yang telah kuperbuat. Aku terkagum – kagum pada tanganku yang tanpa diduga mampu menusuk seseorang. Masih teringat dengan jelas ketika, mata pedang itu menembus kulit dan mengeluarkan darah. Tak pernah kuduga sebelumnya, jika darah bisa begitu menggairahkan. Membuatku ingin melihatnya lebih banyak lagi dan lagi. Gila? terserah.

“Seseorang ingin bertemu denganmu” kata seorang wanita berseragam cokelat.

Aku mengangguk dan berjalan dibelakang wanita berseragam tanpa menduga – duga siapa yang berkunjung. Tak ada yang kutunggu apalagi ingin kutemui. Berjalan di lorong panjang dengan puluhan pasang mata yang mengamati, mencibir dan juga menghujat. Aku tak peduli.

Aku pun sampai disebuah ruangan bermeja dan berkursi panjang yang mengingatkanku pada gerai penjual bakso di pinggir jalan. Wanita berseragam itu memintaku untuk duduk dan menunggu sebentar. Aku mengangguk dan tak lupa tersenyum. Ya, sekarang aku bisa tersenyum.

Aku sendiri terkejut dengan senyumanku yang mengembang. Rasanya telah bertahun – tahun senyuman itu bersembunyi dalam kesedihan yang memeluk jiwa. Tak sekalipun aku menemukan alasan untuk tersenyum. Dimataku semua hanyalah kepedihan. Aku dibesarkan dengan tempaan luka dan larangan menjatuhkan air mata. Menahan semua duka dalam lubuk hati dan mengenangnya dalam kepingan ingatan. Tak pernah kutahu bahwa senyumku bisa semenawan ini.

Tiba – tiba, darahku kembali bergejolak. Seseorang muncul dihadapanku dengan wajah yang tak lagi beringas. Wajah yang memudarkan senyuman manis diwajahku. Wajah yang mengaktifkan kembali sinyal siaga di seluruh otot sarafku. Diam – diam aku mengumpat ; Bajingan itu belum wafat!

* * *

“Maafin, Bapak Nak” ucapnya lirih dengan air mata yang meluncur dari kedua sudut matanya.

Aku tercekat.

Mataku memanas dan kerongkonganku mengering seketika. Langit seolah jatuh menimpaku. Meremukan tubuhku. Meruntuhkan seluruh dendamku. Tubuhku mulai limbung. Aku merasa ‘kosong’ dan air mata mulai mengalir hangat di kedua pipiku. Aliran yang semakin lama semakin deras dan disusul suara sesegukan dari bibirku yang gemetaran.

“Maafkan perlakuan kasar, Bapak” ucapnya lagi, mengusap kepalaku.

Tak ada kata yang mampu ku ucapkan. Kepingan ingatan luka tak lagi kutemui. Semuanya telah hilang dan terhanyut bersama air mata yang mengalir. Aku tak mengerti dan menerka – nerka apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Dimana luka – luka itu bersembunyi? Mengapa kini aku tak lagi menemui mereka?

“Bisakah kamu memaafkan, Bapak?” Tanyanya dengan mata tua yang berkaca – kaca.

Tak ada yang bisa kukatakan. Segala sesuatunya terasa sudah terlambat.


-Selesai-